Friday, December 3, 2010

Nobel Fisika 2010: Graphene






Oleh: Satria Zulkarnaen Bisri (Peneliti ISTECS, PhD researcher di Tohoku University dan Waseda University)

6 Oktober 2010

Nobel Fisika 2010 sudah diumumkan dan yang mendapatkan kehormatan untuk mendapatkan hadiah  tersebut adalah Prof. Andre Geim dan Prof. Konstantin Novoselov, keduanya dari University of Manchester, atas penemuan "graphene". Dan harus dicatat juga bahwa Konstantin Novoselov sebelumnya pun bekerja pada group Prof. Geim semenjak menjadi mahasiswa PhD, disaat awal riset graphene dimulai.

Nobel Fisika tahun ini cukup spesial. Graphene sendiri adalah susunan 2D hexagonal lattice atom-atom carbon (berikatan kovalen dengan hibridisasi sp2). Merupakan material tertipis dan juga sangat kuat (karena ikatan kovalennya). Selain itu, keunikan graphene adalah pada sifat elektroniknya dimana terdapat Dirac point pada dispersi energi elektronnya. Pada Dirac point tersebut, massa efektif elektronnya adalah nol, disebut sebagai massless fermion. Sebagai konsekuensi teoretisnya, elektron dapat bergerak pada graphene dengan mobilitas yang sangat tinggi, tertinggi dibandingkan material lainnya. Material ini pun transparan secara optis di cahaya tampak.

Keunikan lainnya dari riset graphene itu sendiri adalah cepatnya perkembangan field itu sendiri. Geim dan Novoselov baru berhasil mengisolasi single layer graphene di sekitar tahun 2004. Tetapi sekarang, riset graphene sudah sampai pada tahapan device dan sudah ada perusahaan yang mulai akan menggunakannya di produk komersialnya, sebagai elemen dari touch screen. Sebuah pemicu aktivitas riset yang sangat cepat jika dilihat time-scale nya (kurang dari 6 tahun). Untuk impact di bidang fisika lainnya, graphene menjadi "test bed" teori-teori Fisika partikel yang awalnya diperkirakan hanya bisa dites di instrumen-instrumen mahal dan besar, atau bahkan hanya bisa berakhir di "laci". Untuk di bidang condensed matter physics sendiri, graphene menjadi ladang untuk eksplorasi "new physics" dan juga kandidat material yang sangat menjanjikan untuk berbagai macam aplikasi elektronik (pengganti silikon), bahkan untuk pengembangan energi terbarukan (solar cell dan hydrogen energy).

Akan tetapi, yang terunik dari penemuan single layer graphene itu sendiri adalah bagaimana "breakthrough" itu dicapai, dengan "metode" apa, dan bagaimana "sosok" orang di belakangnya. Sekilas melihat profile graphene di atas, nampak penemuan material itu sangat kompleks. Padahal, alat yang mereka pakai hanyalah alat sehari-hari di sekitar kita, yaitu cellotape (selotip). Dan bahan baku yang dipakai adalah graphite (seperti isi pensil yang biasa kita pakai). Cara membuatnya hanyalah dengan mengupas (cleavage) graphite dengan menggunakan cellotape, dan didapatkan graphene. Bergantung dari merk cellotape apa (semuanya komersial dan murah), bisa didapatkan baik single layer graphene maupun several layer graphene film. Hanya itu...... breakthrough-nya. Setelah itu, terserah peneliti berikutnya, bisa untuk membuat device, mau diteliti sebagaimanapun. Dan metode cellotape ini, sederhana tapi baru dan inovatif, diturunkan oleh ilmuwan lain untuk melakukan hal yang sama pada material dua dimensi lainnya, yang melahirkan cabang baru dari riset ini.

Jadi, sebuah inovasi sederhana, by accident, tetapi bisa merubah dunia. Sosok Andre Geim sendiri dikenal kreatif, karena dia sebelumnya pernah mendapatkan Ig Nobel untuk penelitian paling ridiculous, yaitu menerbangkan kodok dengan menggunakan superconductor.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini, belum terlihat ada yang mengikuti trend penelitian graphene. Padahal proses pembuatannya sangat-sangatlah sederhana. Dan bahan bakunya pun ada di sekitar kita. Bahkan dari limbah pengolahan besi/baja sekalipun. Kalau tidak ada yang mencoba masuk, Indonesia akan kembali tertinggal salahsatu gerbong sains dan teknologi. Bisa jadi di masa depan, kita hanya mengekspor limbah tersebut dengan harga murah, dan harus membayar mahal semua produk graphene-based technology. Sama halnya kita mengekspor pasir ke Singapura dengan harga murah, dan membayar mahal untuk produk silicon-based technology-nya.

Penulis sendiri merasa beruntung bisa melihat langsung bagaimana graphene itu dibuat dengan cara yang sama, dan mencoba sekali dua kali membuat, walaupun itu bukan topik riset saya, melainkan topik riset salahsatu peneliti postdoctoral di lab dimana penulis bergabung. Merupakan sebuah kenikmatan sendiri bisa merasakan langsung "thrill" dan "excitement" bagaimana hasil-hasil riset seputar graphene dan 2D material terbit dan dihasilkan.

Nobel Fisika tahun ini memang spesial, walaupun di bidang condensed matter physics, orang sudah memperkirakan sejak tiga tahun lalu. Simplicity for solving complexity. Sebuah hikmah dan pelajaran yang seharusnya bisa diambil oleh bangsa Indonesia, terutama peneliti-peneliti Indonesia (termasuk penulis yang masih anak bawang).