Friday, November 2, 2012

Kenapa Sih Harus si Kelvin?

Kenapa sih harus dirubah ke Kelvin kak? Bikin repot aja. Kak, kan yang banyak dipake itu Celcius kok fisika malah milih Kelvin sih untuk satuan dalam termodinamika? Atau ada juga yang seperti ini waktu mengerjakan soal perbandingan energi kinetik gas, Kak kurang kerjaan banget sih, tadi bilang harus dirubah dari Celcius ke Kelvin terus waktu udah dapet jawaban ternyata pilihannya yang ada cuma Celcius, jadinya dirubah lagi dong?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sering sekali ditanyakan ketika kita belajar termodinamika. Memang sih sepertinya lebih elegan apabila kita menggunakan satuan Celcius dibandingkan Kelvin ketika kita menghadapi kenyataan hidup sehari-hari. Hal ini dikarenakan termometer Celcius lebih familiar dibandingkan dengan termometer Kelvin (pernah ga' ngukur suhu badan waktu demam make Kelvin? Saya rasa hal tersebut jarang banget kan dilakukan?). Selain itu sepertinya lebih mudah menggunakan Celcius dibandingkan Kelvin, karena termometer tersebut dimulai dari angka yang bagus (nol) dan tidak seperti Kelvin yang dimulai dari 273, ketika digunakan pada keadaan yang umum.

Jadi, mengapa sih fisikawan lebih memilih Kelvin dibandingkan dengan derajat termperatur lainnya? Apa sih hebatnya si Kelvin sehingga ia lebih unggul dari Celcius, Fahrenheit, dan Reamur?

Ok, mari kita coba jawab pertanyaan tersebut ya,..

Termometer selain Kelvin, yaitu Celcius, Reamur, dan Fahrenheit titik atas dan titik bawahnya ditentukan oleh titik didih dan titik beku air. Ya, untuk Celcius dan Reamur titik beku air adalah 0 sedangkan pada Fahrenheit itu dimulai dari 32. Sedangkan untuk titik didih air pada termometer Celcius adalah 100, pada Reamur adalah 80, dan untuk Fahrenheit pada 212. Jadi, dari ketiga termometer tersebut yang membedakan hanyalah skala dalam termometer tersebut sedangkan untuk pengkalibrasiannya (acuan) tetap sama, yaitu kondisi air. Sehingga apabila diterapkan untuk suatu sistem yang lebih universal (misal gas dalam suhu yang sangat rendah) ketika dilakukan perhitungan-perhitungan fisis (misal energi kinetik) akan menghasilkan angka yang kurang cantik.
Contoh: Berapakah energi kinetik dari gas hidrogen ketika temperaturnya adalah -100 derajat Celcius?
 Jawab: Seperti kita ketahui bahwa rumus untuk menghitung energi kinetik gas adalah:
Ek = 3/2.k.T
Sehingga apabila kita gunakan jenis temperatur Celcius maka akan menghasilkan:
Ek = 3/2 k (-100) = -150.k
Apabila digunakan Fahrenheit:
Ek = 3/2. k. (-148) = -222.k
Sedangkan untuk Reamur:
Ek = 3/2.k.(-80) = -120.k

Kalau kita perhatikan maka nilai energi kinetik dari hasil temperatur-temperatur tersebut akan bernilai negatif, ya kan? Nah, yang menjadi masalah adalah, apakah arti dari nilai energi kinetik yang negatif tersebut? Hehehe..
Ya, itulah permasalahan yang akan kita temui apabila menggunakan temperatur selain Kelvin. Kita akan mungkin untuk mendapatkan nilai energi kinetik yang bernilai negatif. Berbeda apabila kita menggunakan temperatur Kelvin. Skala yang digunakan pada temperatur Kelvin bukan ditentukan berdasarkan kondisi air melainkan ditentukan berdasarkan kondisi gerakan molekulernya. Di dalam Kelvin titik bawahnya yaitu 0 K menandakan bahwa pada suhu tersebut secara termodinamika akan berhenti bergerak. Sehingga dapat dikatakan bahwa (mungkin) tidak ada benda yang memiliki suhu di bawah 0 K tersebut. Karena itulah fisikawan lebih memilih Kelvin dibandingkan dengan temperatur lain. Nilai 0 dalam Kelvin bersifat absolut. Sehingga dengan menggunakan Kelvin kita tidak akan menemukan energi kinetik dari suatu zat akan bernilai negatif. Ya, coba saja kerjakan soal di atas dengan Kelvin ya..

Ok, sekarang sudah tahu kan dimana letak keunggulan Kelvin dibandingkan dengan temperatur lain. Ya, dengan menggunakan temperatur Kelvin kita dapat menentukan kondisi dari zat yang akan kita ukur tersebut secara lebih universal. Baik dalam pengukuran termiknya maupun mekaniknya. O ya, sebagai tanda untuk menunjukkan bahwa Kelvin adalah acuan standar maka dibedakan cara menulis satuan Kelvin dibandingkan dengan temperatur lain. Dalam menulis Kelvin itu tidak perlu digunakan derajat tidak seperti lainnya yang sebelum huruf satuannya didahului dengan derajat. Selain itu, alasan penulisan tersebut adalah untuk menunjukkan satuan lain selain Kelvin merupakan skala ukuran sedangkan Kelvin adalah unit ukuran.

Sekian dulu ya, semoga bermanfaat.. Terima kasih.

Thursday, October 11, 2012

Hukuk Gauss dalam Kapasitor Plat Sejajar



Kapasitor plat sejajar, ya mungkin untuk teman-teman yang udah duduk di bangku SMA kelas XII ga asing lagi sama materi ini. Kalau di SMA kita bakal lebih sering menghitung tentang berapakah nilai kapasitansinya, baik itu kalau kapasitornya ketika sendirian atau ketika dirangkai baik secara parallel dan seri atau mungkin juga menghitung energi kapasitansinya. Dan kayaknya, materi tentang kapasitor itu bukan materi yang susah-susah amat kan ya hehehe…

Tapi coba kalau kita balik nanya, dari mana sih asal rumus kapasitansi kapasitor plat sejajar yang punya persamaan:

Ok, sebelum kita membahas tentang kapasitor plat sejajar lebih jauh, gimana kalau kita kenalan dulu sama yang namanya persamaan hukum Gauss untuk medan listrik. Hukum Gauss untuk medan listrik itu adalah salah satu dari 4 persamaan Maxwell yang luar biasa banget itu. Isinya untuk yang tampilan integral adalah:
Namun sebagai catatan, medan listrik dalam kapasitor plat sejajar itu kita ambil medan listrik yang ideal aja, atau yang tegak lurus karena kita anggap kapasitor plat sejajar memiliki luasan yang tak hingga. Nilai d (jarak antar kepingnya)-nya jauh lebih kecil dibandingkan A (luas)-nya. Atau kalau dibandingkan kayak gambar di bawah ini, dan kita menggunakan yang A. Ya, sebenernya sih ini untuk mempermudah kita bekerja dibandingkan kalau kita ngerjain sistem yang B (yang real  kapasitor) hehehe...
    
 Kalau kita perhatiin dalam persamaan 1 Maxwell atau dalam hukum Gauss untuk medan listrik itu kan persamaannya kayak gini:

Jadi, kalau kita selesaiin sistem itu maka jadinya adalah:

Dengan σ itu adalah rapat muatan per satuan luas. Atau mungkin kita lebih nyaman sama tampilan yang seperti ini ya.

Sehingga
Q = E.A.ε

Ocre, kita kan udah nemu tuh persamaan untuk medan listrik di dalam kapasitor. Sekarang gimana kalau kita nyari nilai potensialnya ya.. Inget kan, hubungan E sama V adalah:

V = E.d

Dimana nilai d itu berarti kalau dalam keeping sejajar adalah jarak antar kepingnya. Jadi kalau kita masukin ke dalam persamaan kapasitansi jadinya adalah:
C = Q/V
Jadi,

Sehingga:

Oh ya, kok sedikit berbeda ya antara persamaan yang kita hasilkan sama persamaan kapasitansi yang di atas banget itu ya. Kalau di sini kita gunakan nilai ε kok kalau di atas kita gunakan ε0? Jadi sebenarnya ε itu adalah permitivitas bahan atau suatu sifat elektrik dari suatu bahan. Nah, kalau ε0 itu adalah nilai permitivitas dalam ruang hampa. So, yang kita temuin dari hukum Gauss itu adalah rumus umum dari kapasitas kapasitor tanpa menentukan nilai permitivitasnya. Dalam artian, kita bisa gunakan semua bahan dalam persamaan tersebut ga perlu menentukan apakan itu ruang hampa atau bukan. Sedangkan kalau yang ada di atas banget itu, itu hanya berlaku kalau kapasitor menggunakan bahan ruang hampa sebagai bahan dielektriknya.

Sehingga, dengan menggunakan persamaan kapasitansi itu kita bisa menentukan jenis bahan yang terdapat antara keping sejajarnya. Dan aplikasi ini memungkinkan kita untuk menghitung kadar air dalam suatu bahan atau menentukan jenis bahan berdasarkan karakteristik permitivitasnya. Ok, mantap kan jadi siapa nih yang berminat untuk mengembangkan potensi ini menjadi alat yang aplikatif? Semoga anak negeri ini turut berjasa dalam pengembangannya. Good luck.

Tuesday, October 9, 2012

Anugerah Nobel Fisika 2012 (Sebuah Berita)

BBCIndonesia.com - detikNews
Anugerah Nobel Fisika 2012 diberikan kepada dua peneliti pelopor yang bekerja di bidang kuantum optik, dengan pengendalian photon yang akurat dan unit-unit dasar cahaya.

Peneliti Prancis, Serge Haroche, dan David Wineland dari Amerika Serikat akan berbagi hadiah senilai US$1,2 juta.

Penelitian yang mereka lakukan bisa mengarah pada pengembangan cara-cara canggih dalam komunikasi dan komputasi.

Profesor Haroche -yang berhasil dihubungi lewat telepon dari ruang konferensi pers saat pengumuman pemenang- mengatakan dia sedang berjalan kaki ketika mendapat pemberitahuan tentang keberhasilannya meraih Nobel.

"Saya beruntung, saya sedang di jalan dan melewati sebuah bangku di dekat situ, jadi saya bisa langsung duduk," kata Haroche.

"Saya sedang berjalan pulang bersama istri saya dan saya lihat nomor telepon Swedia dan menyadari hal itu nyata dan Anda tentu tahu, ini tentu amat menggembirakan," tambahnya.

Dia baru mendapat pemberitahuan sekitar 20 menit sebelum pengumuman resmi oleh Akademi Sains Kerajaan Swedia di Stockholm.

Teknik Simpul untuk Menyelesaikan Soal Listrik Dinamis


Mungkin beberapa dari teman-teman tidak merasa kesulitan ketika harus mengerjakan soal terkait dengan loop pada materi listrik dinamis. Tapi, mungkin kendala yang ditemukan adalah dibutuhkan kesabaran yang ekstra ketika mencoba menyelesaikan soal bertipe tersebut. Ya, perhitungan yang berbelit-belit akan membuat kita sendiri merasa jenuh dengan soal seperti itu.
Ok, disini saya akan mencoba menyederhanakan kasus soal yang seperti itu. Jika biasanya kita menyelesaikan soal seperti itu dengan metode loop bagaimana jika saat ini kita coba dengan teknik simpul. Nah, setelah itu coba bandingkan dengan metode loop yang biasa teman-teman kerjakan, semoga lebih mudah ya hehehe..
Langsung masuk saja ke soal ya...


Ada  suatu rangkaian seperti gambar di atas. Apabila E1 = 6 V, r1 = 1 Ω; E2 = 3 V, r2 = 1 Ω; E3 = 3 V, r3 = 1 Ω; R1 = 3 Ω, R2 = 2 Ω, R3 = 2 Ω, R4 = 1 Ω, R5 = 1 Ω, maka berapakah arus yang mengalir pada tiap tegangan?
Kalau kita gambarkan soal kayak gitu kan punya rangkaian yang bentuknya kayak dibawah:

Dan kalau kita pecah jadi tiap bagian jalur A menuju B untuk tiap arus jadinya:

Mari kita coba mulai untuk menyelesaikan soal tersebut dengan metode simpul ya..
1.      Kita tentukan nilai resistor pada tiap arus
R pada I1 = r1 + R1 + R2 = 1 + 3 + 2 = 6 Ω
R pada I2 = r2 + R3 = 1 + 2 = 3 Ω
R pada I3 = r3 + R4 + R5 = 1 + 1 + 1 = 3 Ω
2.      Kita cari nilai VAB



Untuk nilai E, akan bernilai positif apabila pada jalur A menuju ke B jalur bertemu E pada kutub positif, sedangkan apabila bertemu kutub negatif akan bernilai negatif.



3.      VAB = Ei + Ii R pada Ii
Catatan, I akan bernilai positif jika searah dengan jalur dari A menuju B sedangkan I akan bernilai negatif jika berlawanan dengan jalur tersebut.

Misalkan pada I1
3,6 = 6 – I1.6
I1 = 0,4 A

Misalkan pada I2
3,6 = 3 – I2.3
I2 = - 0,2 A; tanda minus menandakan jika arah yang kita gunakan sebelumnya berlawanan dengan arah sebenarnya.

Misalkan pada I3
3,6 = 3 – I3.3
I3 = -0,2 A

Nah sekarang coba bandingin kalau ngerjainnya make cara loop... Semoga bermanfaat.. sampai jumpa di tips fisika selanjutnya..

Monday, October 8, 2012

Kerangka Acuan Universal dalam Gerak Lurus



Semoga tulisan ini sedikit memberi manfaat untuk temen-temen yang merasa sedikit ribet kalau ngerjain soal gerak lurus khususnya yang naik ke atas terus turun lagi. Nah jadi, gini misalkan ada soal yang sistem soalnya kayak gini contohnya,

Andi melempar batu keatas dengan kecepatan 5 m/s. Andi berada di atas sebuah gedung yang ketinggiannya 30 m dari tanah. Berapakah waktu yang dibutuhkan batu agar sampai ke tanah?

Mungkin beberapa dari kita kalau mengerjakan soal kayak gini menggunakan konsep seperti ini ya:
1.       Mencari waktu untuk batu mencapai titik puncaknya (dalam arti kecepatan batu menjadi nol).
2.       Mencari ketinggian yang dicapai sebagai modal untuk mencari waktu ada langkah 3.
3.       Mencari ketinggian total yang dihitung dari tanah
4.       Mencari waktu untuk batu kembali lagi jatuh ke bawah/sampai tanah (dalam arti batu melakukan gerak jatuh bebas).
5.       Menjumlahkan kedua waktu tersebut.

Atau secara langsung aja ya kita coba kerjain soal ini dengan metode seperti di atas:
1.       Vt = V0 – g.t1
0 = 5 – 10.t1
t1 = 0,5 s
2.       h = V0.t1 – ½ g.t12
= 5.0,5 – ½.10.0,52
= 2,5 – 1,25
= 1,25
3.       Htot = h + Hgedung
= 1,25 + 30 = 31,25 m
4.       Htot = ½ g.t22
31,25 = ½.10.t22
t22 = 31,25 x 2/10
= 6,25
t2 = 2,5 s
5.       ttot = t1 + t2
= 0,5 + 2,5 = 3 s

Sebenernya cara di atas ga salah sih, tapi kayaknya kan kalau kita mengerjakan soal dengan cara seperti di atas itu bakal makan waktu yang cukup lama kan. Nah, kalau begitu bagaimana kalau kita coba cara yang lebih simple ya. Disini kita mau menggunakan konsep kerangka acuan universal. Jadi gini untuk nyelesaiin soal kayak gitu kita pandang posisi awal batu itu bukan pada posisi ketinggian dari tanah. Tapi kita anggap aja kalau batu berada pada posisi h = 0 dan tanah berarti pada koordinat h = -30 m. Jadi kita bisa masukin ke persamaan GLBB untuk gerak vertikal ke atas:

h = V0.t – ½ g.t2
-30 = 5.t – ½.10.t2
5t2 – 5t – 30 = 0
t2 – t – 6 = 0
(t - 3) (t + 2)
Jadi t = 3 s, karena waktu kan ga’ mungkin bernilai negatif.

Cara ini selain bisa digunain untuk yang lurus-lurus aja, bisa digunain untuk gerak parabola lho.. tapi tentu dengan modifikasi nilai v0-nya jadi v0y ya….

Ok, gimana lebih simple ga? Kalau merasa lebih simple kita tunggu tips selanjutnya ya…. Thanks