Oleh Rob Dunn
Foto oleh Max Aguilera-Hellweg
Foto oleh Max Aguilera-Hellweg
Pada
22 oktober lalu, lonceng berdenting di kantor utama laboratorium Yuri
Oganessian di Dubna, sebelah utara Moskwa. Dua belas fisikawan nuklir
duduk di belakang meja yang berisi tumpukan kertas tinggi. Di seberang
lorong, sebuah siklotron sedang menembakkan atom-atom kalsium ke
selembar logam tipis dengan kecepatan 108 juta kilometer per jam.
Denting
lonceng kecil itu menandakan bahwa sebuah atom baru telah lahir. Pada
saat itu, atom itu adalah satu-satunya atom unsur 117 yang ada di Bumi,
dan yang ke-19 yang pernah ada. Semua atom unsur 117 yang lain juga
dibuat di laboratorium ini, dan semuanya lenyap dengan cepat. Setelah
sepersekian detik, yang ini juga musnah.
Dubna, yang terletak di
Sungai Volga, adalah kota ilmu pengetahuan baru setelah Perang Dunia II.
Georgy Flerov, yang turut meluncurkan penelitian senjata nuklir Uni
Soviet, mendirikan laboratorium yang kemudian diambil alih Oganessian.
Pada awal perang itu, Flerov memperhatikan bahwa aliran artikel tentang
unsur radioaktif dari ilmuwan Amerika dan Jerman tiba-tiba berhenti.
Dia
menduga bahwa mereka sedang membangun bom atom, dan dia menyurati
pemimpin Soviet Joseph Stalin pada April 1942. Stalin memerintahkan para
fisikawan Rusia untuk membangun bom juga. Flerov sendiri dihadiahi
sebuah laboratorium di Dubna. Di sana dia mencurahkan perhatiannya
untuk berburu unsur baru.
Segala sesuatu tersusun atas
unsur—berbagai jenis atom. Sebagian besar atom sudah berusia miliaran
tahun, disebarkan oleh ledakan besar atau bintang yang meledak, lalu
bergabung ke dalam Bumi yang baru lahir, kemudian didaur ulang
terus-menerus dari batu ke bakteri, presiden, atau tupai.
Pada
akhir 1880-an, seorang Rusia lain, Dmitry Mendeleyev, mencoba menata
semuanya, mengelompokkannya menurut massa dan sifat lainnya dalam tabel
periodik. Di kemudian hari, para ilmuwan menemukan kaitan antara susunan
Mendeleyev dan struktur atom. Setiap unsur memiliki nomor: jumlah
proton dalam inti atom atau nukleusnya.
Pada 1940, para peneliti
telah menemukan semua unsur yang stabil dan telah lama ada di Bumi ini,
hingga uranium, unsur 92. Tetapi, setelah uranium, terdapat segudang
kemungkinan—unsur-unsur yang terlalu radioaktif dan tidak stabil
sehingga tak mampu bertahan miliaran tahun. Untuk menjelajahi dunia itu,
unsur-unsurnya harus dibuat dulu.
Langkah pertama pembuatan
tersebut tak hanya mengubah tabel periodik. Pada 1941, setelah Glenn
Seaborg dan rekan-rekannya di University of California, Berkeley,
membuat unsur 94, plutonium, Seaborg langsung direkrut dalam Manhattan
Project. Setelah membantu merekayasa atom plutonium yang dijatuhkan di
Nagasaki, Jepang, Seaborg kembali ke Berkeley.
Dia terus membuat
unsur-unsur baru, meskipun penerapannya tidak sedahsyat
plutonium—misalnya untuk detektor asap—atau tak ada penerapan sama
sekali. Pada 1955, timnya sudah menemukan hingga unsur 101. Dia
menamainya mendelevium.
Selama beberapa waktu tampaknya tabel Mendeleyev akan selesai di situ.
Proton dalam nukleus selalu ingin bercerai-berai; muatan listrik positif
semua proton itu saling menolak. Neutron—partikel bermuatan listrik
netral yang jumlahnya melebihi proton—membantu mengikat nukleus agar
tetap utuh. Tetapi, gaya ikatan itu melemah secara tajam seiring
membesarnya nukleus. Jadi, ada ukuran maksimum untuk atom—lebih besar
dari itu, atom tak mungkin bisa stabil sekejap mata pun, ibarat
kupu-kupu kimia.
Tim Berkeley tetap maju, bersaing dengan Flerov
Laboratory of Nuclear Reactions di Joint Institute for Nuclear Research
di Dubna. Dari 1965 hingga 1974, Berkeley mengklaim telah membuat unsur
102, 103, 104, 105, dan 106—tetapi demikian pula Dubna. Semua kupu-kupu
itu mati dalam waktu beberapa jam saja. Akhirnya, mereka berkompromi:
Unsur 105 dinamai dubnium dan unsur 106 seaborgium. Perang nuklir pun
pada akhirnya terhindarkan.
Sementara itu, kalangan teoretikus
memunculkan tujuan baru bagi misi ini. Mereka berpendapat bahwa nukleus
yang sangat besar mungkin saja ternyata stabil, jika memiliki “bilangan
ajaib” proton dan neutron—cukup untuk mengisi dengan pas semua cangkang
yang ditempati partikel.
Pemikiran itu, jika benar, dapat
mengubah segalanya. Itu dapat berarti bahwa mungkin, mungkin saja, ada
“pulau stabilitas” di balik cakrawala, ketika unsur yang superberat
dengan 114, 120, atau 126 proton dapat bertahan bermenit-menit,
berminggu-minggu, atau bahkan ribuan tahun.
Pada suatu malam
musim gugur di dubna, saya dan juru bahasa mengetuk pintu rumah
Oganessian. Awan salju menggantung rendah di langit; burung gagak
berlompatan di sekeliling lampu jalan. Oganessian meminjami kami sandal
dan mengajak kami ke ruang makan, lalu menyuguhkan teh.
Setelah
teh habis, kami minum kopi, lalu anggur Armenia buatan sendiri. Kami
membicarakan musik rakyat Amerika, anak masing-masing, dan perjalanan
kami. Setelah beberapa lama, kami mulai membicarakan perjalanan
Oganessian menuju pulau stabilitas.
Sewaktu dia masih muda, pulau
itu tampak mustahil dicapai. Saat itu, lab Berkeley dan Dubna sudah
berhasil membuat hingga unsur 106, dengan cara menembakkan nukleus
ringan pada nukleus berat dengan sangat kuat sehingga terjadi fusi yang
membentuk satu nukleus superberat. Tetapi, setelah unsur 106, tabrakan
itu menimbulkan energi begitu besar sehingga nukleus baru itu
tercerai-berai bahkan sebelum terbentuk.
Pada 1974, Oganessian
mengusulkan bahwa proyektil yang agak lebih berat dan target lebih
ringan mungkin akan menghasilkan tumbukan yang lebih lembut dan
membuahkan hasil. Sebuah lab di Darmstadt, Jerman, menyambar ide itu
untuk membuat unsur 107 hingga 112.
Lab Dubna kemudian mengalami
masa-masa sulit. Flerov wafat pada 1990; Uni Soviet runtuh setahun
kemudian. Lab tak mampu menggaji para penelitinya sampai berbulan-bulan.
Mereka mengumpulkan jamur di hutan; menangkap ikan di Sungai Volga.
Saat itu, Oganessian sudah menjadi kepala lab. Sebenarnya dia bisa saja
mengarahkan lab ke sasaran yang lebih praktis. Tetapi, dia memutuskan
untuk maju terus, menuju unsur 114—pantai terdekat di pulau stabilitas.
Untuk membuat unsur 114, Oganessian menembakkan kalsium (dengan 20
proton) pada plutonium (dengan 94). Siklotronnya mampu melakukan itu.
Tetapi, dia memerlukan isotop langka kalsium dan plutonium, yang
memiliki cukup neutron tambahan untuk mengikat 114 proton. Dia membujuk
para fisikawan Amerika di Lawrence Livermore National Laboratory di
California, untuk memberinya 20 milligram plutonium.
Menurut
rencananya, siklotron akan menembakkan berkas kalsium pada sepersepuluh
kecepatan cahaya pada lembar logam yang dilapisi plutonium berharga itu.
Di antara triliunan atom yang terpancar di baliknya—lembar itu lebih
tipis daripada rambut—Oganessian memperkirakan paling banyak ada satu
atom unsur 114. Timnya, bersama tim Livermore, menciptakan detektor baru
untuk menemukannya.
Mereka menyalakan siklotron itu pada bulan
November 1998. Percobaan ini memerlukan pengawasan terus-menerus,
siang-malam. “Andai siklotron ini manusia, sekarang dia sudah tua
renta,” kata seorang teknisi lab kepada saya. Pada akhir November,
siklotron menghasilkan satu atom unsur 114.
Atom itu hanya
bertahan beberapa detik—tetapi itu ribuan kali lebih lama daripada yang
semestinya, andai tidak ada pulau stabilitas, dan hasil ini membuktikan
bahwa metode kalsium ini berhasil. Sejak itu, Dubna dan lab lain telah
berhasil membuat unsur 115, 116, 117, dan 118. Mereka masih jauh dari
puncak pulau, yaitu unsur yang dapat bertahan hingga bertahun-tahun.
Musim
semi lalu, unsur itu secara resmi dimasukkan ke tabel periodik dan
dinamai: flerovium. (Unsur 116 dinamai livermorium.) Beberapa bulan
kemudian, saya menanyakan hal yang gamblang: Apakah Oganessian tidak
ingin pensiun, pada usia 80 tahun? “Kita telah menemukan pulau itu,”
jawabnya. “Sekarang waktunya kita menjelajahinya, berjalan-jalan di
pantai barat.” Harus ada yang memahami perilaku unsur-unsur baru ini.
Oganessian belum mau pensiun dulu.
Sumber: National Geographic
0 comments:
Post a Comment