Wednesday, July 24, 2013

Pemburu Unsur

 


Oleh Rob Dunn
Foto oleh Max Aguilera-Hellweg
Pada 22 oktober lalu, lonceng ber­denting di kantor utama laboratorium Yuri Oganessian di Dubna, sebelah utara Moskwa. Dua belas fisikawan nuklir duduk di belakang meja yang berisi tumpukan kertas tinggi. Di seberang lorong, sebuah siklotron sedang menembakkan atom-atom kalsium ke selembar logam tipis dengan kecepatan 108 juta kilometer per jam.


Denting lonceng kecil itu menandakan bahwa sebuah atom baru telah lahir. Pada saat itu, atom itu adalah satu-satunya atom unsur 117 yang ada di Bumi, dan yang ke-19 yang pernah ada. Semua atom unsur 117 yang lain juga dibuat di laboratorium ini, dan semuanya lenyap dengan cepat. Setelah sepersekian detik, yang ini juga musnah.

Dubna, yang terletak di Sungai Volga, adalah kota ilmu pengetahuan baru setelah Perang Dunia II. Georgy Flerov, yang turut meluncurkan penelitian senjata nuklir Uni Soviet, mendirikan laboratorium yang ke­mudian diambil alih Oganessian. Pada awal perang itu, Flerov memperhatikan bahwa aliran artikel tentang unsur radioaktif dari ilmuwan Amerika dan Jerman tiba-tiba berhenti.

Dia menduga bahwa mereka sedang membangun bom atom, dan dia menyurati pemimpin Soviet Joseph Stalin pada April 1942. Stalin memerintahkan para fisikawan Rusia untuk membangun bom juga. Flerov sendiri dihadiahi sebuah labo­ratorium di Dubna. Di sana dia mencurahkan perhatiannya untuk berburu unsur baru.

Segala sesuatu tersusun atas unsur—berbagai jenis atom. Sebagian besar atom sudah berusia miliaran tahun, disebarkan oleh ledakan besar atau bintang yang meledak, lalu bergabung ke dalam Bumi yang baru lahir, kemudian didaur ulang terus-menerus dari batu ke bakteri, presiden, atau tupai.

Pada akhir 1880-an, seorang Rusia lain, Dmitry Mendeleyev, mencoba menata semuanya, mengelompokkannya menurut massa dan sifat lainnya dalam tabel periodik. Di kemudian hari, para ilmuwan menemukan kaitan antara susunan Mendeleyev dan struktur atom. Setiap unsur memiliki nomor: jumlah proton dalam inti atom atau nukleusnya.

Pada 1940, para peneliti telah menemukan semua unsur yang stabil dan telah lama ada di Bumi ini, hingga uranium, unsur 92. Tetapi, setelah uranium, terdapat segudang kemungkinan—unsur-unsur yang terlalu radioaktif dan tidak stabil sehingga tak mampu bertahan miliaran tahun. Untuk menjelajahi dunia itu, unsur-unsurnya harus dibuat dulu.

Langkah pertama pembuatan tersebut tak hanya mengubah tabel periodik. Pada 1941, setelah Glenn Seaborg dan rekan-rekannya di University of California, Berkeley, membuat unsur 94, plutonium, Seaborg langsung direkrut dalam Manhattan Project. Setelah membantu me­rekayasa atom plutonium yang dijatuhkan di Nagasaki, Jepang, Seaborg kembali ke Berkeley.

Dia terus membuat unsur-unsur baru, meskipun penerapannya tidak sedahsyat plutonium—misalnya untuk detektor asap—atau tak ada penerapan sama sekali. Pada 1955, timnya sudah menemukan hingga unsur 101. Dia menamainya mendelevium.

Selama beberapa waktu tampaknya tabel Mendeleyev akan selesai di situ. Proton dalam nukleus selalu ingin bercerai-berai; muatan listrik positif semua proton itu saling menolak. Neutron—partikel bermuatan listrik netral yang jumlahnya melebihi proton—membantu mengikat nukleus agar tetap utuh. Tetapi, gaya ikatan itu melemah secara tajam seiring membesarnya nukleus. Jadi, ada ukuran maksimum untuk atom—lebih besar dari itu, atom tak mungkin bisa stabil sekejap mata pun, ibarat kupu-kupu kimia.

Tim Berkeley tetap maju, bersaing dengan Flerov Laboratory of Nuclear Reactions di Joint Institute for Nuclear Research di Dubna. Dari 1965 hingga 1974, Berkeley mengklaim telah membuat unsur 102, 103, 104, 105, dan 106—tetapi demikian pula Dubna. Semua kupu-kupu itu mati dalam waktu beberapa jam saja. Akhirnya, mereka berkompromi: Unsur 105 dinamai dubnium dan unsur 106 seaborgium. Perang nuklir pun pada akhirnya terhindarkan.

Sementara itu, kalangan teoretikus memunculkan tujuan baru bagi misi ini. Mereka berpendapat bahwa nukleus yang sangat besar mungkin saja ternyata stabil, jika memiliki “bilangan ajaib” proton dan neutron—cukup untuk mengisi dengan pas semua cangkang yang ditempati partikel.

Pemikiran itu, jika benar, dapat mengubah segalanya. Itu dapat berarti bahwa mungkin, mungkin saja, ada “pulau stabilitas” di balik cakrawala, ketika unsur yang superberat dengan 114, 120, atau 126 proton dapat bertahan bermenit-menit, berminggu-minggu, atau bahkan ribuan tahun.

Pada suatu malam musim gugur di dubna, saya dan juru bahasa mengetuk pintu rumah Oganessian. Awan salju menggantung rendah di langit; burung gagak berlompatan di sekeliling lampu jalan. Oganessian meminjami kami sandal dan mengajak kami ke ruang makan, lalu menyuguhkan teh.

Setelah teh habis, kami minum kopi, lalu anggur Armenia buatan sendiri. Kami membicarakan musik rakyat Amerika, anak masing-masing, dan perjalanan kami. Setelah beberapa lama, kami mulai membicarakan perjalanan Oganessian menuju pulau stabilitas.

Sewaktu dia masih muda, pulau itu tampak mustahil dicapai. Saat itu, lab Berkeley dan Dubna sudah berhasil membuat hingga unsur 106, dengan cara menembakkan nukleus ringan pada nukleus berat dengan sangat kuat sehingga terjadi fusi yang membentuk satu nukleus superberat. Tetapi, setelah unsur 106, tabrakan itu menimbulkan energi begitu besar sehingga nukleus baru itu tercerai-berai bahkan sebelum terbentuk.

Pada 1974, Oganessian mengusulkan bahwa proyektil yang agak lebih berat dan target lebih ringan mungkin akan menghasilkan tumbukan yang lebih lembut dan membuahkan hasil. Sebuah lab di Darmstadt, Jerman, menyambar ide itu untuk membuat unsur 107 hingga 112.

Lab Dubna kemudian mengalami masa-masa sulit. Flerov wafat pada 1990; Uni Soviet runtuh setahun kemudian. Lab tak mampu menggaji para penelitinya sampai berbulan-bulan. Mereka mengumpulkan jamur di hutan; menangkap ikan di Sungai Volga. Saat itu, Oganessian sudah menjadi kepala lab. Sebenarnya dia bisa saja mengarahkan lab ke sasaran yang lebih praktis. Tetapi, dia memutuskan untuk maju terus, menuju unsur 114—pantai terdekat di pulau stabilitas.

Untuk membuat unsur 114, Oganessian menembakkan kalsium (dengan 20 proton) pada plutonium (dengan 94). Siklotronnya mampu melakukan itu. Tetapi, dia memerlukan isotop langka kalsium dan plutonium, yang memiliki cukup neutron tambahan untuk mengikat 114 proton. Dia membujuk para fisikawan Amerika di Lawrence Livermore National Laboratory di California, untuk memberinya 20 milligram plutonium.

Menurut rencananya, siklotron akan menembakkan berkas kalsium pada sepersepuluh kecepatan cahaya pada lembar logam yang dilapisi plutonium berharga itu. Di antara triliunan atom yang terpancar di baliknya—lembar itu lebih tipis daripada rambut—Oganessian memperkirakan paling banyak ada satu atom unsur 114. Timnya, bersama tim Livermore, menciptakan detektor baru untuk menemukannya.

Mereka menyalakan siklotron itu pada bulan November 1998. Per­cobaan ini memerlukan pengawasan terus-menerus, siang-malam. “Andai siklotron ini manusia, sekarang dia sudah tua renta,” kata seorang teknisi lab kepada saya. Pada akhir November, siklotron menghasilkan satu atom unsur 114.

Atom itu hanya bertahan beberapa detik—tetapi itu ribuan kali lebih lama daripada yang semestinya, andai tidak ada pulau stabilitas, dan hasil ini membuktikan bahwa metode kalsium ini berhasil. Sejak itu, Dubna dan lab lain telah berhasil membuat unsur 115, 116, 117, dan 118. Mereka masih jauh dari puncak pulau, yaitu unsur yang dapat bertahan hingga bertahun-tahun.

Musim semi lalu, unsur itu secara resmi dimasukkan ke tabel periodik dan dinamai: flerovium. (Unsur 116 dinamai livermorium.) Beberapa bulan kemudian, saya menanyakan hal yang gamblang: Apakah Oganessian tidak ingin pensiun, pada usia 80 tahun? “Kita telah menemukan pulau itu,” jawabnya. “Sekarang waktunya kita menjelajahinya, berjalan-jalan di pantai barat.” Harus ada yang memahami perilaku unsur-unsur baru ini. Oganessian belum mau pensiun dulu.

Sumber: National Geographic

0 comments:

Post a Comment