Wednesday, July 24, 2013

Semua Berawal dalam Kekacauan

 

Oleh Robert Irion
Foto oleh Mark Thiessen, Seni oleh Dana Berry

Butir debu itu diambil dari ekor komet yang terletak lebih dari 350 juta kilometer dari Bumi. Sekarang, di bawah mikroskop elektron di sebuah lab bawah tanah, debu itu membesar, sampai memenuhi layar komputer. Menilik suatu petak gelap yang me­nyerupai tebing bergerigi, Dave Joswiak me­naikkan perbesaran hingga 900.000.



Petak itu berubah menjadi butir-butir mungil hitam pekat. “Sebagian butir ini hanya berukuran be­berapa nanometer—itu amat-sangat kecil,” kata Joswiak. “Kami menduga debu ini bahan purba yang membentuk segala sesuatu di tata surya, dan tidak berubah sejak dulu.”

Butir debu itu diberi nama: Inti, seperti dewa matahari bangsa Inca. Mungkin hampir selama 4,5 miliar tahun ini debu itu membeku di luar Neptunus, di dalam komet Wild 2 (diucapkan VILT). Puluhan tahun lampau, entah bagai­mana, Wild 2 mulai bergerak dalam orbit yang membawanya melewati Yupiter, dan di sana mulai hancur terkena panas matahari.

Pada Januari 2004, pesawat antariksa NASA ber­nama Stardust melesat lewat Wild 2 dan men­jaring ribuan butir debu dengan perangkap yang terbuat dari aerogel—bahan kaca yang meng­gembung. Dua tahun kemudian, kapsul yang membawa kargo rapuh ini berparasut ke padang pasir Utah, Amerika Serikat. Tim Stardust mengeluarkan debu itu dari gel tersebut dengan hati-hati, meletakkannya di mikroskop elektron. Mereka tercengang melihatnya.

Kalangan ilmuwan sudah lama tahu bahwa planet, komet, dan benda langit lain yang me­ngitari matahari lahir sekitar 4,5 miliar tahun silam dari cakram debu dan gas yang berputar, disebut nebula matahari. Mereka sudah lama berasumsi bahwa benda-benda itu terbentuk kira-kira di tempatnya kini mengorbit. Di alam dingin di luar Neptunus, bahan yang tersedia untuk membentuk komet diduga merupakan campuran es dan debu halus yang kaya karbon.

Tetapi, butir-butir hitam Inti mengandung mineral eksotis—butir batu dan logam keras seperti wolfram dan titanium nitrida, yang hanya mungkin terbentuk di dekat matahari yang baru lahir, pada suhu di atas 1700 derajat Celsius. Tentu ada proses dahsyat yang me­lontarkannya ke tata surya luar.
Tak lama kemudian para pembuat jam pun membuat orrery yang semakin rumit, dengan planet perunggu mengitari matahari pada lintasan yang tak pernah berubah. Newton sendiri tahu bahwa kenyataannya lebih amburadul. Dia menyadari bahwa planet juga tentu berinteraksi satu sama lain.

Tarikan gravitasinya jauh lebih lemah daripada matahari, tetapi seiring waktu berpengaruh juga pada lintasan tetangganya. Akibatnya, seperti kata Brownlee, “tidak ada yang namanya orbit lingkaran.” Pada prinsipnya, tarikan gra­vitasi yang tiada henti dapat memperbesar pe­nyimpangan kecil ini sehingga orbit berpindah, ber­potongan, atau kacau dalam segi lain.

Newton menyimpulkan bahwa Tuhan tentu turun tangan dari waktu ke waktu untuk me­mulihkan ketertiban. Namun, dia tidak tahu kapan. Dia tidak punya rumus untuk meng­hitung orbit beberapa benda langit yang tarik-menarik untuk waktu yang jauh ke depan. Pada kenyataannya, tidak ada yang melihat bukti bahwa orbit planet pernah berubah. Jadi, konsep tata surya yang ajek tetap bertahan.

Namun, dalam sekitar satu dasawarsa ter­akhir berkembang pandangan yang jauh lebih dramatis. Ratusan juta tahun setelah terbentuk, planet-planet terbesar tersapu ke orbit baru, meng­hembalangkan bebatuan besar dan komet ke segala arah.

“Siapa sangka bahwa planet raksasa bisa ber­pindah, bahwa seluruh susunan tata surya bisa berubah?” kata Alan Stern dari Southwest Research Institute di Boulder, Colorado. Tanda-tandanya memang ada, kata Stern. Namun, meng­ungkapkannya diperlukan survei teleskop baru, serta “orrery digital”—algoritme pintar yang menggunakan ketangguhan kemampuan hitung komputer untuk menghitung orbit planet di masa lalu dan masa depan.

Petunjuk pertama berasal dari Pluto. Benda ini melenceng jauh di atas dan di bawah bidang datar yang dilalui kedelapan planet. Pluto menukik dalam orbit lonjong yang mem­bawanya ke tempat 30-50 kali jarak Bumi ke matahari. Tetapi, yang paling menarik soal Pluto adalah hubungannya dengan Neptunus. Hal ini disebut resonansi: Setiap tiga kali Neptunus mengorbit matahari, Pluto mengorbit dua kali, dan sedemikian rupa sehingga kedua planet ini tidak pernah berdekatan.

Pada 1993, Renu Malhotra menyusun teori soal kemungkinan cara berkembangnya sinkronisasi tersebut. Dia mengajukan bahwa ke­tika tata surya masih muda serta dipenuhi aste­roid dan komet, Neptunus lebih dekat dengan matahari. Jika ada benda langit yang men­dekati Neptunus, gravitasi planet yang kuat dapat melemparkannya ke arah matahari atau keluar sama sekali dari tata surya.

Karena aksi menimbulkan reaksi, orbit Neptunus juga ber­geser sedikit. Model komputer Malhotra me­nunjukkan bahwa biasanya hal itu menyebabkan Neptunus bergerak menjauhi matahari. Dalam skenarionya, hal inilah yang menyebabkan planet ini “menangkap” Pluto, yang sudah ber­ada lebih luar, dan memasukkannya ke dalam barisan gravitasi.
“Kami terkesima,” kata Donald Brownlee, kepala tim Stardust dan atasan Joswiak. “Men­cengangkan bahwa bahan bersuhu tertinggi ini ditemukan dalam benda terdingin di tata surya. Tata surya kita benar-benar kacau-balau.”

Semasa kita kecil, tata surya tampaknya tak pernah bertingkah. “Sembilan planet beredar dalam orbit yang ajek dan tak berubah, se­lamanya,” kata Renu Malhotra dari University of Arizona. Alat mekanis yang indah bernama orrery mencerminkan konsep ini, yang berasal dari Isaac Newton. Pada akhir abad ke-17, Newton menunjukkan bahwa orbit planet dapat di­hitung dari interaksi gravitasinya dengan mata­hari.
Tak lama kemudian para pembuat jam pun membuat orrery yang semakin rumit, dengan planet perunggu mengitari matahari pada lintasan yang tak pernah berubah. Newton sendiri tahu bahwa kenyataannya lebih amburadul. Dia menyadari bahwa planet juga tentu berinteraksi satu sama lain.

Tarikan gravitasinya jauh lebih lemah daripada matahari, tetapi seiring waktu berpengaruh juga pada lintasan tetangganya. Akibatnya, seperti kata Brownlee, “tidak ada yang namanya orbit lingkaran.” Pada prinsipnya, tarikan gra­vitasi yang tiada henti dapat memperbesar pe­nyimpangan kecil ini sehingga orbit berpindah, ber­potongan, atau kacau dalam segi lain.

Newton menyimpulkan bahwa Tuhan tentu turun tangan dari waktu ke waktu untuk me­mulihkan ketertiban. Namun, dia tidak tahu kapan. Dia tidak punya rumus untuk meng­hitung orbit beberapa benda langit yang tarik-menarik untuk waktu yang jauh ke depan. Pada kenyataannya, tidak ada yang melihat bukti bahwa orbit planet pernah berubah. Jadi, konsep tata surya yang ajek tetap bertahan.

Namun, dalam sekitar satu dasawarsa ter­akhir berkembang pandangan yang jauh lebih dramatis. Ratusan juta tahun setelah terbentuk, planet-planet terbesar tersapu ke orbit baru, meng­hembalangkan bebatuan besar dan komet ke segala arah.

“Siapa sangka bahwa planet raksasa bisa ber­pindah, bahwa seluruh susunan tata surya bisa berubah?” kata Alan Stern dari Southwest Research Institute di Boulder, Colorado. Tanda-tandanya memang ada, kata Stern. Namun, meng­ungkapkannya diperlukan survei teleskop baru, serta “orrery digital”—algoritme pintar yang menggunakan ketangguhan kemampuan hitung komputer untuk menghitung orbit planet di masa lalu dan masa depan.

Petunjuk pertama berasal dari Pluto. Benda ini melenceng jauh di atas dan di bawah bidang datar yang dilalui kedelapan planet. Pluto menukik dalam orbit lonjong yang mem­bawanya ke tempat 30-50 kali jarak Bumi ke matahari. Tetapi, yang paling menarik soal Pluto adalah hubungannya dengan Neptunus. Hal ini disebut resonansi: Setiap tiga kali Neptunus mengorbit matahari, Pluto mengorbit dua kali, dan sedemikian rupa sehingga kedua planet ini tidak pernah berdekatan.

Pada 1993, Renu Malhotra menyusun teori soal kemungkinan cara berkembangnya sinkronisasi tersebut. Dia mengajukan bahwa ke­tika tata surya masih muda serta dipenuhi aste­roid dan komet, Neptunus lebih dekat dengan matahari. Jika ada benda langit yang men­dekati Neptunus, gravitasi planet yang kuat dapat melemparkannya ke arah matahari atau keluar sama sekali dari tata surya.

Karena aksi menimbulkan reaksi, orbit Neptunus juga ber­geser sedikit. Model komputer Malhotra me­nunjukkan bahwa biasanya hal itu menyebabkan Neptunus bergerak menjauhi matahari. Dalam skenarionya, hal inilah yang menyebabkan planet ini “menangkap” Pluto, yang sudah ber­ada lebih luar, dan memasukkannya ke dalam barisan gravitasi.

Malhotra terbukti benar satu dasawarsa ke­mudian. Di sabuk Kuiper, wilayah gelap yang mem­bentang jauh melampaui Neptunus, teleskop menemukan banyak Plutino—dunia kerdil beku yang sama-sama memiliki resonansi dua banding tiga dengan Neptunus. Menurut Malhotra, hal itu hanya mungkin terjadi jika Nep­tunus mendekati Sabuk Kuiper seperti pukat gravitasi, menjaring banyak planet kerdil ke orbit baru.

“Begitu Plutino ditemukan, teori ini tidak terbantahkan lagi,” ujar Malhotra. “Migrasi planet jadi pemikiran yang diakui umum.”

Gagasan migrasi planet ini muncul saat para ilmu­wan planet dibingungkan oleh beberapa fitur tata surya lain. Pada awal 2000-an, mereka telah lama menyadari bahwa pembentukan tata surya penuh prahara. Planet-planet membesar hingga ukuran saat ini dengan menyerap pla­nete­simal—asteroid berbatu, komet es, dan benda yang lebih besar—yang menabraknya dengan kecepatan tinggi. Ini mungkin terjadi dalam 100 juta tahun pertama.

Yang membingungkan, prahara besar ini tidak berakhir di sini. Ratusan juta tahun ke­mudian, bulan mengalami serangkaian benturan besar yang menyebabkan permukaannya bo­peng dengan kawah-kawah besar. Masa yang disebut Late Heavy Bombardment (Bombardir Berat Akhir) ini mem­berondong Bumi dengan lebih dahsyat lagi.

Para ilmu­wan tidak punya penjelasan yang baik soal pemicunya, karena pada saat peristiwa itu planet telah menyapu sebagian besar puing di orbitnya. Teleskop mengungkap teka-teki yang sama di sabuk Kuiper. Selain Plutino, sabuk itu dipenuhi benda-benda dengan orbit yang sangat berbeda-beda.

Beberapa benda itu berkelompok dalam cakram datar, beberapa dalam awan berbentuk donat gembung; beberapa memiliki orbit yang bahkan jauh lebih eksentrik (istilah teknis untuk lonjong) daripada orbit Pluto. “Seperti kapal pecah,” kata Harold Levison, rekan Stern di Southwest Research Institute. Migrasi mulus Neptunus ke luar, yang digunakan Malhotra untuk menjelaskan Plutino, tidak mungkin me­nebarkan puing seluas ini.

Sementara itu, para astronom mulai me­nemu­kan planet di sekitar bintang lain—dan mu­lai secara radikal memperluas pemikiran me­reka tentang apa saja yang sebenarnya mung­kin terjadi dalam sebuah sistem planet. Ada yang orbitnya berdempetan, jauh lebih dekat daripada planet-planet di tata surya kita. Bahkan, ada planet yang melayang bebas di ruang antarbintang.
Semua planet ini tidak sesuai dengan kon­sep bahwa planet lahir di cakram berputar di sekitar bintang lalu duduk manis di tem­pat kelahirannya. Proses itu seharusnya meng­hasil­kan orbit hampir lingkaran yang berjauhan, seperti yang ditampilkan orrery kuningan.

Jelas ada banyak planet yang bermigrasi, tetapi migrasi tenang tampaknya tidak menjelaskan orbit ekstrem dan Bombardir akhir, setidaknya menurut anggapan Levison. Dia mulai curiga bahwa sejarah tata surya kita sama sekali tidak tenang. Pada 2004, dia berkumpul dengan tiga rekan saat cuti panjang di Nice, Prancis, untuk berusaha memikirkan kejadiannya.

Levison, yang biasa dipanggil “Hal”, bertubuh kekar dengan rambut beruban tipis yang dikuncir dan berewok awut-awutan bergaya Sinterklas. “Yang akan saya sampaikan ini benar-benar luar biasa gila,” katanya pada awal seminar baru-baru ini. “Jika hal ini kami terbit­kan, mungkin karier saya bisa tamat.”

Per­nyataan serupa sebetulnya berlaku tahun 2004, untuk hal yang sekarang disebut model Nice—hipotesis yang dikembangkannya ber­sama rekan-rekannya, termasuk Alessandro Morbidelli dari Observatoire de la Côte d’Azur di Nice, berdasarkan puluhan simulasi komputer.

Pada dasarnya, tim Levison mengusulkan bahwa empat planet raksasa di tata surya kita—Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus—awal­nya lebih berdempetan, dalam orbit yang hampir lingkaran, dan tiga planet terakhir lebih dekat dengan matahari daripada orbitnya sekarang.

Pada mulanya, keempat planet itu berada dalam nebula surya berbentuk cakram, yang masih penuh dengan puing es dan batu. Karena planet tersebut menyerap planetesimal atau melemparkannya ke luar tata surya saat berpapasan dalam jarak dekat, cakram itu pun semakin bersih. Karena planet juga tarik-menarik, seluruh sistem itu tidak stabil—“tingkat kekacauannya hampir tak terhingga,” kata Levison.

Alih-alih se­tiap planet hanya terhubung ke matahari dengan batang kuningan, bayangkan ada tambah­an pegas gravitasi yang menghubungkan semua benda langit itu. Pegas terkuat menghubung­kan dua benda terbesar, Yupiter dan Saturnus. Sentakan pada pegas itu mengguncang sistem.

Dan itulah, menurut tim ini, yang terjadi ketika tata surya berumur sekitar 500 juta sampai 700 juta tahun. Saat planet berinteraksi dengan planetesimal, orbitnya sendiri me­ngalami pergeseran. Yupiter bergerak sedikit ke dalam; sementara Saturnus bergerak sedikit ke luar, sebagaimana halnya Uranus dan Neptunus. Semuanya terjadi perlahan—hingga suatu ketika Saturnus tepat berevolusi sekali setiap Yupiter berevolusi dua kali.
Resonansi satu banding dua itu tidak stabil seperti resonansi yang terjadi antara Neptunus dan Pluto; itu sentakan singkat yang kuat pada pegas gravitasi. Saat Yupiter dan Saturnus men­dekat dan tarik-menarik berulang kali pada titik yang sama di orbitnya, orbit yang hampir lingkaran itu memanjang menjadi elips yang kita lihat sekarang.

Orbit seperti itu segera mengakhiri resonansi yang presisi, tetapi Saturnus sudah telanjur pindah ke dekat Uranus dan Neptunus, sehingga mempercepat keduanya. Kedua planet itu terdorong ke luar dengan kencang.

Sementara Uranus dan Neptunus mengarungi zona-zona tata surya yang masih dipenuhi pla­nete­simal sarat es, keduanya memicu efek ku­mu­latif yang merusak. Bola es berlontaran ke segala arah. Banyak benda, mungkin termasuk komet Wild 2, tersebar ke dalam sabuk Kuiper.

Entah berapa banyak—mungkin satu triliun—yang terasingkan lebih jauh lagi ke awan Oort, suatu kepompong raksasa komet yang tersebar hingga setengah jalan ke bintang tetangga. Banyak komet juga terlontar ke dalam tata-surya-dalam, dan di sana menabrak planet atau hancur terkena panas matahari.

Sementara itu, migrasi planet-raksasa juga meng­ganggu sabuk asteroid batu di antara Yupiter dan Mars. Asteroid yang bertebaran itu bergabung dengan komet dari tempat jauh, mem­bentuk Bombardir Besar Akhir. Misi NASA baru-baru ini yang disebut GRAIL men­dokumentasikan seberapa parah bulan kita terkena dampaknya saat itu, dan pada masa sebelumnya dalam sejarah: seluruh permukaannya retak-retak besar.

Bumi tentu terkena serangan lebih gencar, tetapi pergeseran lempeng tektonik telah meniadakan kawah-kawah yang dulu terbentuk. Masa terburuk Bombardir Berat Akhir ber­henti, menurut model Nice itu, dalam waktu kurang dari 100 juta tahun. Tetapi, kajian ter­baru oleh Bill Bottke dari Southwest Research Institute menyiratkan bahwa tumbukan yang ber­langsung mungkin mengganggu kehidupan selama hingga dua miliar tahun lagi.

Ketika suatu asteroid menabrak Bumi, tetes-tetes kecil batu cair melambung tinggi ke atmosfer, kemudian menjadi hujan dalam bentuk manik-manik kaca padat bernama sferulit. Lapis­an sferulit dari sebuah asteroid selebar sepuluh kilometer yang menghantam Yucatán sekitar 65 juta tahun silam, yang memunahkan dinosaurus, ditemukan di seluruh dunia. Sejauh ini, telah ditemukan setidaknya belasan lapisan sferulit yang berasal dari deretan tabrakan yang terjadi antara 1,8 miliar dan 3,7 miliar tahun yang lalu.
 Menurut Bottke, mungkin sampai 70 di antaranya menabrak Bumi, masing-masing sebesar asteroid yang memunahkan dinosaurus. “Evolusi tata surya itu dinamis,” kata Levison. “Dahsyat. Tata surya kita mungkin tergolong tenang jika dibandingkan dengan yang terjadi di tempat lain. Mungkin memang harus tenang, agar terbentuk planet yang dapat dihuni.”

Model nice merupakan hipotesis, dan tidak semua ilmuwan yakin benar. Sekarang, semua orang sepakat bahwa setidaknya beberapa planet pernah bermigrasi, tetapi apakah itu memicu se­rangan dahsyat ke seluruh tata surya masih di­per­debatkan. “Konsepnya menarik,” kata Donald Brownlee.

“Tentu terjadi di berbagai tempat, di seputar bintang lain. Apakah pernah terjadi di sini, kita tidak tahu pasti.” Jelas bahwa partikel komet seperti Inti terlontar keluar dari tempat di dekat matahari, katanya, tetapi pergeseran planet mungkin terjadi lebih lamban.

Kunci untuk menguji model Nice adalah mem­­buat peta. Memetakan komposisi dan orbit benda-benda jauh dapat mengungkapkan apa­kah memang planet yang melontarkannya ke sana dan bagaimana terjadinya. Stern me­mimpin misi NASA bernama New Horizons yang akan mengirim wahana tanpa awak me­lewati Pluto dan kelima bulannya yang di­ketahui pada Juli 2015.

Dari sana, Stern berharap dapat memerintahkan New Horizons memeriksa se­tidaknya satu benda lain dalam sabuk Kuiper. Teleskop baru yang berkekuatan tinggi yang di­rencanakan dalam dasawarsa berikut akan mem­­perlihatkan jauh lebih banyak benda dalam sabuk Kuiper.

Teleskop itu juga mungkin meng­intip awan Oort, yang disebut Stern sebagai loteng tata surya. Puing-puing yang terlempar ke sana akibat Yupiter mungkin ada yang berupa planet hilang. “Saya yakin awan Oort akan membuat kita terpana,” kata Stern. “Planet pasti bertebaran di sana. Saya yakin kita akan menemukan banyak planet yang mirip Mars dan Bumi di sana.”

Bagaimana dengan masa depan planet yang kita kenal? Sifat acak di sistem ini begitu tinggi, kata teoretikus Greg Laughlin dari University of California, Santa Cruz, sehingga ramalan—maupun rekonstruksi sejarah—harus disajikan dalam kerangka probabilitas.

Kalangan ilmuwan sangat yakin bahwa keempat planet raksasa sudah selesai berkelana dan akan tetap berada di orbit yang sama selama lima miliar tahun ke depan, sementara matahari yang menua di­perkira­kan akan menggembung dan melahap planet-dalam. Tetapi, tidak jelas apakah planet-dalam—Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars—saat itu masih ada dan akan mati seperti itu.
“Ada peluang satu persen bahwa tata surya-dalam akan semakin tidak stabil secara drastis selama lima juta tahun ke depan,” kata Laughlin. Masalah­nya adalah hubungan jarak-jauh yang aneh antara Yupiter dan Merkurius. Ketika gerak terdekat Yupiter ke matahari sejajar dengan orbit Merkurius yang sangat datar dengan cara yang tepat, Yupiter memberi tarikan kecil tapi stabil.

Setelah miliaran tahun, ini membuka peluang 1 banding 100 bagi Merkurius untuk melintasi orbit Venus. Ada juga peluang 1 banding 500 bahwa jika Merkurius menggila, planet itu juga akan mengganggu orbit Venus atau Mars, cukup untuk menyebabkan salah satunya menabrak Bumi—atau meleset sejauh beberapa ribu kilo­meter. “Seluruh Bumi akan melar dan meleleh seperti gulali,” kata Laughlin.

Risiko kecil kiamat itu—peluang 1 banding 50.000 bahwa Bumi akan hancur akibat ke­kacauan orbit sebelum sempat dihanguskan matahari—adalah peninggalan dari masa muda tata surya, sebelum susunannya terbalik-balik. “Kalau gravitasi diberi cukup waktu,” kata Levison, “akibatnya adalah hal-hal seperti ini.”

[catatan kontributor]
Robert Irion memimpin program penulisan sains di University of California, Santa Cruz. Foto Mark Thiessen tentang metana, gas yang tak terlihat, dimuat dalam edisi Desember. Seniman Dana Berry membuat sampul edisi Desember 2009.

Sumber: National Geographic

0 comments:

Post a Comment